Konon kabarnya sabun yang kita gunakan untuk mandi sehari-hari itu pertama kali dipakai oleh orang-orang Sumeria di Timur Tengah kurang lebih 4.500 tahun yang lalu. Saat itu mereka menggunakan lemak dari beberapa jenis tumbuhan dan bubuk kayu yang diolah dan dibentuk menjadi seperti tablet. Tablet itu berukuran sebesar kelereng yang kemudian digunakan untuk membersihkan kulit dan baju dan dikenal sebagai sabun konvensional pertama dalam sejarah peradaban manusia. Tapi bukan berarti manusia sebelum itu tidak berusaha untuk membersihkan diri. Jauh sebelumnya, nenek moyang kita sudah terbiasa merawat diri mereka dengan menggunakan bahan-bahan dari alam di sekitarnya. Misalnya menggosok badan dengan menggunakan batu-batuan khusus. Hingga saat ini pun, orang di beberapa daerah di Indonesia masih sering menggunakan batu pembersih yang dikenal sebagai batu apung. Nenek moyang kita juga mengenal beberapa jenis daun-daunan sebagai bahan pewangi dan lulur.
Jika diamati, cara pembuatan sabun dari dulu sampai sekarang sangat lambat perkembangannya dibandingkan bahan kosmetika lainnya. Bahan baku yang dipakai sekarang tidak jauh berbeda dengan bahan yang digunakan oleh orang Sumeria di masa lalu. Penemuan yang mereka lakukan dilanjutkan oleh seorang tabib dari Yunani, Galen, sekitar dua abad sebelum masehi. Galen berhasil membuat sapo (berasal dari kata saponifikasi yang artinya penyabunan) yang dibuatnya dari lemak hewan dan bubuk kayu untuk membersihkan kulit dan mengobati luka. Penggunaannya dalam keseharian lebih bertujuan untuk kesehatan dari pada untuk mandi biasa.
Pada awal abad ke-19, Marchionini menemukan bahwa lapisan lemak pada permukaan kulit manusia menyebabkan kulit menjadi bersifat sedikit asam. Kondisi ini sebenarnya sangat dibutuhkan untuk melindungi kulit dari kuman. Sementara itu, seorang peneliti lainnya telah menyimpulkan bahwa pemakaian sabun yang bersifat basa (alkalin) atau hanya air sekalipun (PH7) akan mengganggu keasaman tersebut sehingga dapat merusak ketahanan kulit terhadap mikroba dari luar tubuh. Untuk mengatasi hal tersebut, seorang ahli kimia dari Jerman, H. Bertsch dan G. Schuster, membuat sulfat yang ber-fatty alcohol (fatty alcohol sulphates) dari fatty alcohol melalui asam lemak. Sebelumnya, sulfonat sudah terlebih dulu dibuat orang, terutama untuk membersihkan pakaian (laundry). Sintetis lain pun mulai diselidiki dan dibuat. Misalnya karboksilat, fosfat, ester, dan betain. Karena semua bahan tersebut dibuat secara sintetis, maka disebut juga dengan nama synthetic detergen (syndet) atau lebih dikenal dengan nama deterjen saja.
Dikarenakan sabun jaman dulu terbuat dari bahan lemak, minyak alami, dan garam alkalin, yang berakibat tidak aman bagi kulit karena dapat merusak keasaman kulit, mengurangi lemak kulit, bahkan mengurangi kemampuan kulit untuk mengeluarkan keringat, maka orang pun mulai membuat sabun dengan menggunakan bahan yang lebih aman. Demikian juga bahan untuk pembuatan deterjen sintetis. Sehingga sekarang kita mengenal bahan pembersih kulit dengan pH balance soap / deterjen, sabun netral, soap free detergen, dan sebagainya.
Untuk tujuan dan kegunaan yang berbeda, sabun dibuat dalam bentuk batang (bar), cair (liquid), dan cream. Untuk penggunaan yang lebih khusus, kita tinggal menambahkan atau mengurangi isinya. Misalnya sabun bayi, sabun antiseptic, sabun deodorant, sabun super fatty, sabun apricot, dan banyak lagi. Termasuk shampoo untuk rambut.
Sabun deterjen yang dibuat dari bahan sintetis biasanya mengandung delapan unsur. Unsur-unsur itu adalah sebagai-berikut :
Surfaktan. Merupakan bahan pembuat sabun yang paling penting. Misalnya lemak dan minyak yang digunakan untuk membuat sabun yang berasal dari minyak kelapa, minyak zaitun, atau lemak hewan.
Pelumas. Berguna untuk menghindari rasa kering pada kulit, membentuk sabun menjadi lunak, menjaga kestabilan busa, dan berfungsi sebagai peramas. Bahan pelumas bisa didapat dari asam lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, paraffin lunak, coccoa butter dan minyak almond.
Antioksidans dan Sequestering Agents. Berfungsi untuk menghindarkan kerusakan lemak, dan untuk mencegah terjadinya efek bau. Bahan pembuat oksidasi antara lain Stearil Hidrazid dan Butylhydroxi Toluene.
Deodoran. Pemakaian deodorant pada sabun mulai dilakukan sejak tahun 1950. Tapi untuk menghindari efek sampingannya, penggunaannya dibatasi.
Pewarna. Penggunaan zat pewarna pada sabun diperbolehkan sepanjang memenuhi persyaratan atau peraturan yang berlaku. Pada beberapa jenis sabun ditambahkan unsure titanium dioxsida untuk menimbulkan efek berkilau pada warna sabun dengan konsentrasi 0,01%. Bahkan ada beberapa jenis sabun dibuat tanpa warna hingga transparan.
Parfum. Berfungsi sebagai pewangi.
Asam Lemak. Penambahan asam lemak yang lemah seperti asam sitrat dapat menurunkan derajat pH pada sabun.
Bahan khusus sebagai tambahan. Dewasa ini sudah banyak sabun yang dibuat untuk keperluan khusus. Misalnya sabun netral yang mirip sabun bayi dengan konsentrasi dan tujuan yang berbeda.
Untuk menghindari berbagai efek yang buruk bagi kulit kita, gunakanlah sabun sesuai keperluan. Misalnya untuk mandi, gunakan sabun mandi, jangan sabun cuci. Sabun antiseptic dianjurkan dipakai jika kulit diduga tercemar banyak kuman. Itu pun jika kulit kita tahan terhadap bahan pembuatnya. Untuk yang berkulit kering, biasanya yang sudah berusia lanjut, gunakan sabun yang tidak membuat kulit menjadi lebih kering. Setelah memakai sabun, bilaslah kulit menggunakan air sebersih mungkin untuk menghindari efek utama dari sabun. Sebab biasanya masih tertinggal sisa-sisa sabun pada kuku, dibalik cincin atau jam tangan, gelang, dan sebagainya.