Pada awal dasawarsa 1970an, pada saat memuncaknya protes dari para mahasiswa hampir di seluruh dunia untuk menentang Perang Vietnam, seorang wanita yang bekerja sebagai pustakawan pada sebuah kantor US. Information Agency di luar negeri menerima kabar buruk bahwa sekelompok mahasiswa mengancam akan membakar perpustakaan yang dikelolanya. Wanita itu beruntung karena memiliki beberapa teman dari aktifis mahasiswa yang menyampaikan ancamannya itu.
Semula tindakan yang diambilnya mungkin dianggap aneh. Si Pustakawan mengundang kelompok mahasiswa itu mengggunakan fasilitas perpustakaan untuk digunakan sebagai sarana beberapa pertemuan mereka. Tapi selain itu, ia juga menghubungi beberapa warga Amerika yang tinggal di negeri itu untuk bisa hadir di tempat itu dan mendengarkan pertemuan yang dilakukan oleh para aktifis tersebut. Timbulnya konfrontasi yang sudah dibayangkan banyak orang bakal terjadi pada pertemuan di perpustakaan itu ternyata tidak ada sama sekali. Justru dialog yang terbuka malah terjadi di antara mereka.
Dengan memanfaatkan hubungan pribadinya dengan beberapa tokoh aktifis mahasiswa yang dikenalnya dapat dipercaya dan juga bisa mempercayai dirinya, wanita pengelola perpustakaan tersebut berhasil melakukan semua itu. Dialog yang terjadi telah berhasil membuka saluran-saluran yang semula tersumbat. Sumbatan yang menimbulkan saling curiga. Proses dialog yang akhirnya membuat mereka yang hadir pada pertemuan di perpustakaan tersebut bisa saling memahami. Hal ini membuat rasa kebersamaan dan keakraban antara beberapa pihak dengan para aktifis mahasiswa. Dan perpustakaan itu pun selamat.
Wanita tadi berhasil memperagakan keahlian seorang penghubung, negosiator, penengah dan sekaligus agen perdamaian. Ia mampu membaca situasi yang mendadak berubah dan ketegangan yang makin memuncak dan berusaha menyatukan perbedaan yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Tempatnya bekerja itu terhindar dari aksi pengrusakan seperti yang dialami oleh kantor-kantor perwakilan Amerika lainnya yang ditangani oleh orang-orang yang kurang terampil dalam menangani hubungan antar manusia.
Oleh Prof. David McClelland, sang Pustakawan tadi di-identifikasikan sebagai "super bintang" yang merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh team yang dipimpin oleh si Profesor. Hasil penyaringan itu menghasilkan sebuah makalah yang membuat lahirnya revolusi dalam pola fikir tentang pangkal keberhasilan.
Pada awal abad ke-20, Frederick Taylor yang kemudian diikuti oleh banyak ahli, membahas secara mendetail dunia kerja. Melakukan analisa pada gerakan secara mekanis paling efisien tentang apa saja yang dapat dilakukan oleh tubuh seorang pekerja. Konsekwensinya, kerja manusia disamakan dengan mesin. Tidak lama kemudian paham Taylorisme digantikan oleh standard baru untuk melakukan test IQ. Keunggulan seorang pekerja dinilai dari kemampuan otaknya. Hal itu tidak lama berlangsung saat pemikiran Freud mulai mempengaruhi bahwa selain IQ, ternyata kualitas kepribadian dianggap menjadi unsur yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan. Anda mungkin sering mendapati bahwa orang-orang yang tidak memiliki latar-belakang akademis yang bagus ternyata sering masuk dalam golongan orang-orang yang memiliki standard sukses. Cara memandang permasalahan dan daya juang seseorang lebih banyak ditentukan oleh kepribadian dan kebiasaan yang dijalaninya. Bukan pada teori-teori yang didapat dari buku.