Beberapa tahun terakhir ini kita banyak belajar dari kejadian-kejadian yang mengejutkan. Banyak sekali orang pintar dan terpelajar melakukan kebodohan. Pemegang gelar sarjana hukum, magister hukum bahkan doktor ilmu hukum, terlibat jual-beli perkara. Dokter medis menggugurkan janin, profesor korupsi, insinyur nyedot minyak dilaut untuk dijual keluar negeri, akuntan menjual tanda-tangan untuk menyetujui kecurangan keuangan, buruh korupsi tidak disiplin dengan waktu, datang terlambat, tidak menjalankan tugas dengan semestinya, dan sebagainya yang masih banyak lagi. Bahkan ada sebagian yang membenarkan hal tersebut dengan justifikasi bahwa mereka semua adalah manusia dho’if, lemah dan sering lupa. Gejala dunia seperti apakah ini? Namun jika gejala / symphtom ini makin merebak, namanya menjadi sebuah permasalahan / problem.
Salah satu hasil analisis adalah bahwa lembaga perguruan (dasar/menengah/tinggi) ternyata hanya dapat menelurkan orang yang terpelajar dan pintar (intelek), yaitu membekali seseorang dengan pengetahuan, mengubah orang yang tidak tahu mejadi tahu, orang bodoh menjadi pintar tetapi tidak menelurkan orang yang mampu mengubah yang buruk menjadi yang baik, yang boros menjadi hemat, yang bermental bobrok menjadi beriman.
Jika kita bandingkan dengan uswatun hasanah, Nabi kita Muhammad S.A.W yang telah menjadi suri tauladan, mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab, menerapkan aturan permainan Islam / syariah dalam bidang ekonomi, politik, menjalankan kehidupan sosial budaya, pertahanan dan keamanan, maka untuk sementara kita artikan bahwa terpelajar adalah mengubah otak, sementara terdidik adalah mengubah mental atau hati seseorang.
Sebagai informasi bahwa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan akan manusia yang terdidik maka negara-negara maju pada dekade millenium ini telah bergeser pemikiran untuk mengubah kurikulumnya dengan memasukkan beberapa mata pelajaran listening skill, speaking skill, pleasant personalities. Kondisi dilapangan telah menunjukkan bahwa telah banyak manusia terpelajar tetapi tidak dapat mendengarkan secara empati keluhan si miskin, si fakir dan manusia yang tertindas, sehingga diperlukan manusia yang memiliki kemampuan mendengarkan (listening skill).
Banyak manusia terpelajar tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berbicara tentang kondisi kebobrokan dan keadilan, oleh karenanya diperlukan manusia yang memiliki kemampuan berbicara (speaking skill) untuk menyuarakan adanya perihal tersebut. Banyak manusia terpelajar tetapi tidak memiliki personality (kepribadian) yang menyenangkan, berbicara menyakitkan hati orang lain, menyinggung perasaan orang lain, meremehkan kemampuan orang lain, tidak memiliki empati dan sensitif terhadap derita orang lain, sehingga dibutuhkan orang yang mampu dan memiliki kepribadian yang unggul untuk dapat dapat berempati dan sensitif terhadap orang lain.
Firman Allah, bahwa akan ditingkatkan derajat orang yang beriman dan berilmu satu derajat dari yang lain adalah merupakan bukti dan gambaran bahwa keduanya adalah satu hal yang tak dapat dipisahkan keberdayaannya. Iman tanpa ilmu berarti taqlid / ikut-ikutan / tanpa dasar. Sebaliknya ilmu tanpa iman akan menjadi tanpa arah positip bak pohon berduri yang rimbun tanpa buah yang hanya mencelakakan orang.
Untuk itu marilah berupaya agar kita senantiasa menjadi kelompok orang yang terpelajar dan terdidik, kelompok orang yang berilmu dan beriman, kelompok orang yang dapat mensinergikan keduanya dalam kehidupan kita. Dengan demikian kita menjadi golongan orang yang berguna bagi orang / golongan / masyarakat / makhluk lain.